What is Music? II

Sabtu, 06 Februari 2010 16.02 by Patrisius Sixtus Bere
WHAT IS MUSIC?
(BAGIAN II)

Patrisius Sixtus Bere

PANDANGAN-PANDANGAN TENTANG MUSIK
Sebenarnya agak sulit untuk menerangkan sebuah rahasia dan peristiwa musik di luar elemen-elemen musikal seperti tonalitas, elemen ritmik atau irama, timbre, tekstur musik dan elemen-elemen fundamental lainnya. Namun sebagai satu fenomen universal, musik dapat dirasakan, dialami untuk selanjutnya dipikirkan, direfleksikan dan dituangkan dalam bentuk gagasan-gagasan yang telah dan sedang berkembang.

Pandangan Historis

Pandangan yang cukup penting dalam arti sistematis dan jelas tentang musik dan fungsi serta kedudukannya dalam kehidupan manusia dapat kita temukan dalam pandangan dunia timur yakni bangsa India dan China serta pandangan Yunani yang terpelihara dengan baik dalam pandangan beberapa filsuf seperti Phytagoras, Plato, Ariestoteles.

• Pandangan Dunia Timur

Pandangan India

Musik (klasik) India sebagai satu cita rasa seni tinggi tidak ditulis melainkan ditumbuhkembangkan berdasarkan tradisi lisan. Pola-pola nada dan iramanya telah dikenal sejak berabad-abad lalu. Para pemusik sebagai penerus budaya seni India telah menghafal musik India berdasarkan tradisi lisan para pendahulunya. Setiap pola lagu (yang biasanya dikenal dengan istilah Raga/Rag) selalu dihubungkan dengan suasana hati tertentu seperti rasa damai, marah atau sedih. Raga juga berhubungan dengan situasi dan saat tertentu seperti senja hari, matahari terbit, dan malam hari. Sementara itu setiap irama atau ritme yang disebut dengan Tala/tal mempunyai makna khusus seperti gajah, tangan, gadis, air mata, dan lain sebagainya. Yang uniknya adalah bahwa para pemainnya dapat memilih secara bebas sebuah raga atau tala dan mulai berimprovisasi dengannya.
Peradaban musik India, tidak dapat dipisahkan dari ritual keagamaan. Himne-himne dan syair-syair yang terdapat dalam tradisi Vedik menunjukkan pada kita eksistensi musik sebagai ungkapan religiositas India yang mendalam dan khas.

Pandangan China

Masyarakat China telah mengenal musik dan tangga nada pentatonis beribu-ribu tahun yang silam. Orang China memandang musik secara komprehensif. Musik dilihat dalam tatanan keseluruhan yang lebih luas meliputi tatanan moral, politik, dan sosial ekonomi serta psikologi manusia.
Konfusius (551-479 SM) merupakan pemikir besar China yang melihat signifikansi hubungan musik dengan elemen-elemen penting di atas. Dia mengatakan bahwa :
“kalau musik yang muncul terdengar muram dan menekan, kami tahu bahwa rakyat sedang tertekan dan sedih. Kalau musiknya tidak berenergi, sedang dan panjang, berarti rakyat sedang damai dan bahagia. Kalau musik yang terdengar kuat dan bertenaga, kami tahu bahwa rakyat sedang bersemangat dan kuat. Kalau musik yang muncul terdengar murni, religius dan megah, kami tahu bahwa rakyat sedang saleh. Kalau musik yang muncul terdengar lembut dan gembira kami tahu bahwa rakyat sedang baik hati dan penyayang. Kalau musik yang muncul terdengar cabul, merangsang dan hingar-bingar, kami tahu bahwa rakyat sedang tidak bermoral. Apabila lingkungannya rusak kehidupan binatang dan tanamannya akan ikut rusak, dan apabila dunia sedang kacau, ritual dan musik juga jadi tidak bermoral. Kami juga menemukan musik yang sedih tanpa henti dan gembira tanpa ketenangan. Melalui musik para pemimpin berusaha menciptakan harmoni dalam hati manusia yaitu dengan menemukan kembali sifat manusia dan mencoba mempromosikan musik sebagai cara untuk menyempurnakan budaya manusia. Kalau musik seperti itu muncul, dan rakyat dibimbing menuju gagasan dan aspirasi yang benar, kita akan melihat munculnya sebuah negara yang kuat.

Itu berarti bahwa musik dalam pandangan masyarakat China selalu dihubungkan dengan harmoni semesta yang terwujud dalam sebuah negara yang sejahtera, aman dan damai. Musik menjadi cermin dari karakter manusia yang mengungkapkan beragam emosi seperti sedih, puas, gembira, marah, kesalehan dan cinta kasih.

Pandangan Yunani

Untuk mengetahui pandangan masyarakat Yunani tentang musik, kita perlu memahami terlebih dahulu konsep Mousike yang biasanya dipakai untuk menjelaskan arti, fungsi dan kedudukan musik. Dalam pandangan masyarakat Yunani, gema dari kata mousike jauh lebih luas dari paham moderen tentang musik karena konsep dasar ini mengacu pada semua cang seni yang dilindungi dan diinspirasi oleh pada dewa yang disebut dengan Mousa atau Muse.
Dalam tradisi pemikiran Yunani, kita mencatat beberapa pandangan atau gagasan dari para filsuf seperti Phytagoras (550 SM), Plato (428-347 SM), Ariestoteles serta Aristoxenus. Menurut Phytagoras, musik adalah sebuah gejala yang dapat diamati secara matematis. Dia melihat hubungan antara tinggi – rendah sebuah nada dengan panjang sebuah dawai. Dia juga berpandangan bahwa jagat raya adalah sebuah alat musik yang terus – menerus dipersatukan dan dipertahankan keselarasannya oleh getaran dan bunyi. Manusia akan menjadi sehat bila hidupnya selaras dengan getaran dan harmoni kosmis.
Sejalan dengan pandangan Confucius, Plato melihat hubungan musik dengan etika. Ada korespondensi antara musik dengan karakter manusia. Dalam bukunya Nomoi Plato menyarankan agar manusia selalu menghindari ritme dan melodi musik yang kompleks dan rumit karena dapat mengarahkan manusia pada depresi dan disharmoni batin. Musik yang demikian juga dapat mengaburkan gema dan dimensi ilahi serta pesan moralnya.

• Pandangan Barat Moderen

Konsep Abad 17-18

Pandangan Phytagoras yang melihat musik dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan muncul lembali pada masa ini. Pada tahun 1619 seorang matematikawan dan ahli astronomi Johannes Keppler (1571-1630) melihat hubungan antara musik dengan gerakan planet yakni dengan menghitung jarak bulan dengan enam planet yang dikenal saat itu

. Pemikiran Modern

Filsuf dan matematikawan Rene Descartes (1596-1650) kembali melihat hubungan yang bersifat niscaya antara musik dan matematika. Selain itu ia juga memberi tekanan pada beberapa pemikiran Platonis tentang kesederhanaan pola melodi dan irama bagi pembentukan karakter manusia.
Filsuf dan matematikawan Jerman Gottfried von Leibniz (1646-1716) berpendapat bahwa musik menggemakan irama semesta dan mencerminkan sebuah realitas yang secara fundamental bersifat matematis dan dialami oleh pikiran manusia sebagai pemahaman bawah sadar tentang relasi numerik (matematis).
Dalam tataran seni, Immanuel Kant (1724-1804) menempatkan musik pada posisi terendah. Kant menilai puisi sebagai yang paling tinggi dalam tataran tersebut karena mengandung nilai-nilai konseptual dan etik. Menurut dia, musik hanya berguna sejauh sifatnya sebagai hiburan saja.
Agak sepaham dengan Kant, Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) mengatakan bahwa seni musik, walaupun di satu sisi menyingkap dan mengekspresikan sesuatu yang agung dan ilahi, ia harus mengalah pada filsafat. Ia meradikalkan musik vokal di atas musik instrumental karena menurutnya musik instrumental yang tidak mempunyai syair terlalu subyektif dan “ tidak bernilai ” bagi pendengarnya.
Arthur Schopenhauer (1788-1860) dengan tetap berpedoman pada paham Platonisme berpendirian bahwa “musik adalah fotokopi ” dari kehendak itu sendiri. Inilah yang menyebabkan mengapa efek dari pada musik begitu dasyat dan menerobos lebih dalam dari pada seni yang lain dikarenakan seni-seni yang lain hanya berbicara mengenai bayang-bayang saja, tetapi musik berbicara tentang realitas itu sendiri. Bertolak belakang dari pandangan Kant, ia menekankan efisiensi musik “ yang lebih kuat, lebih cepat, lebih dibutuhkan dan tidak menyesatkan.” Dalam seluruh pandangannya Schopenhauer mengakui hubungan yang bersifat abadi antara musik dan perasaan manusia. Musik dalam pandangannya selalu dihubungkan dengan kehendak manusia yakni simbol dari kehendak manusia.

• Pandangan Gereja

Pandangan Sebelum Konsili Vatikan II

Di dalam Gereja, musik memegang peranan penting dalam ibadat dan liturgi resmi Gereja lainnya, teristimewa dalam Perayaan Ekaristi. Musik (vokal dan instrumen) dalam Gereja mempunyai fungsi dan ekspresi yang bermacam-macam. Musik vokal yang berujud kata-kata dan kalimat, yang dihiasi tinggi-rendah nada (melodi) dan harmoni serta irama yang selaras, dapat menampakkan suatu komunikasi vertikal kepada Allah dan membuat ibadat dan liturgi lebih indah dan semarak daripada hanya diucapkan atau didaraskan.
Perkembangan awal musik Gereja sebenarnya berinspirasikan tradisi Yahudi dalam Sinagoga berupa nyanyian Mazmur (pujian) kepada Allah. Tradisi seperti ini dipelihara dengan baik dan dikembangkan ke dalam satu bentuk musik yang kemudian dikenal dengan istilah Musik Gregorian (Plainchant, Bahasa Latin : Cantus Planus). Musik ini sendiri digagaskan oleh Paus Gregorius Agung (tahun 690-604) yang mengharuskan penggunaan bahasa Latin (Kitab Suci) demi keseragaman dan kesatuan serta kemurnian ajaran Katolik. Karakter musik ini adalah bersifat diatonis dan unisono dengan irama bebas serta A capella.
Perkembangan selanjutnya musik Gereja adalah musik Polifoni (sekitar abad XIII). Tradisi baru ini semakin memperkaya tradisi Gregorian. Penemuan alat musik Organum semakin memperkaya horison musik Gereja dari masa ke masa sekaligus semakin memperkaya refleksi dan pemahaman tentang musik Gereja itu sendiri.

Pandangan Konsili Vatikan II

Pandangan Gereja yang sangat membantu pemahaman kita tentang musik dapat kita lihat dalam beberapa dokumen KV II. Konstitusi Liturgi artikel 112 – 121 secara khusus membahas kedudukan integral musik dalam liturgi Gereja. Dalam art. 112 dikatakan bahwa :
“Tradisi musik Gereja semesta merupakan kekayaan yang tak terperikan nilainya, lebih gemilang dari ungkapan-ungkapan seni lainnya, terutama karena nyanyian suci yang terikat pada kata-kata merupakan bagian liturgi meriah yang penting atau integral”
Artikel-artikel selanjutnya tetap menunjuk pada tema pokok di atas dengan mengetengahkan beberapa tema fundamental seperti Liturgi meriah, Pendidikan musik liturgi, Nyanyian Gregorian dan Polifoni, Penerbitan buku-buku nyanyian Gregorian, Nyanyian rohani umat, Pembinaan musik liturgi di daerah misi, Orgel dan alat-alat musik yang dipakai dalam Liturgi, Pembinaan para pemusik dan seniman serta Pembinaan kesenian bagi pada rohaniwan.
Pandangan Gereja juga secara tersirat dapat kita gali dari dokumen Konsili Vatikan II Gaudium et Spes (GS) dan Presybiterorum Ordinis (PO). Dalam GS Bab II (art. 53-62) yang berbicara tentang Kebudayaan kita dapat menemukan pandangan Gereja yang senantiasa menghargai dan merangkum budaya yang dihasilkan manusia dalam rangka membangun peradaban. Kesenian (termasuk musik) merupakan elemen budaya yang dinilai tinggi karena membantu manusia mewujudkan eksistensi dirinya. Dengan menciptakan dan sekaligus menghargai kebudayaan termasuk musik, manusia membangun dunianya dengan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan.
Dekrit PO art. 5 secara tersirat mengemukakan urgenitas musik dalam karya pelayanan para imam dan pelayanan liturgis. Dengan pengetahuan dan pengembangan yang tepat mengenai kesenian termasuk musik, imam diharapkan membantu pemahaman jemaat yang dilayaninya tentang bagaimana mengungkapkan syukur dan pujian kepada Allah secara lebih bergairah.

• Pandangan Modern Tentang Inteligensi Musikal

Harold Gardner, seorang Psikolog kognitif dari Universitas Harvard telah mengembangkan sebuah teori inteligensi dalam bukunya Frames Of Mind; The Teory Of Multiple Intelligences tentang 8 inteligensi dasar manusia yakni : inteligensi linguistik, logika-matematika, spasial, kinestetik-tubuh, musikal, interpesrsonal, intrapersonal dan naturalistik.
Mengenai inteligensi musikal, Gardner mengatakan bahwa itu mungkin lebih banyak mengandung aspek emosional, spiritual dan budaya lebih daripada inteligensi lainnya. Tetapi yang terpenting adalah bahwa musik dapat membantu sebagian orang untuk mengorganisir cara berpikir dan bekerja sehingga membantu mereka berkembang dalam hal matematika, bahasa dan kemampuan spasial (keruangan). Inteligensi musik pada umumnya mengandung kemampuan menguasai pengertian tentang bentuk musik dan irama, skema atau kerangka untuk mendengarkan musik, kemampuan untuk sensitif terhadap pola suara dan pola vibrasi, kemampuan merekognisi, mengkreasi dan memproduksi suara, irama, nada serta vibrasi, memiliki kemampuan pemahaman tentang karakteristik kualitas nada dan irama.
Penelitian ini telah memberikan sumbangan yang sangat berarti untuk mengembalikan citra musik yang telah terkubur selama puluhan tahu lalu. Musik ternyata telah bergerak melampaui apa yang kita pikirkan selama ini karena memberikan manfaat yang besar dalam mengembangkan kemampuan-kemempuan dasar lainnya. Dengan penelitian dan penyelidikan seputar persoalan ini, telah memberikan kesadaran dan pemahaman baru untuk mengembalikan musik pada kurikulum pendidikann yang sebenarnya.
Musik telah membawa suasana positif dan santai bagi banyak kelas, juga memungkinkan integrasi indra yang diiperlukan untuk ingatan jangka panjang (long therm memory). Musik berfungsi pula sebagai latar belakang dalam sejumlah ruang kelas untuk meredam bunyi-bunyi industri atau lalu lintas, dan musik dapat digunakan secara berhasil untuk menimbulkan kegairahan, melepaskan stres sebelum ujian, dan untuk memperkuat pokok bahasan yang sementara dipelajari dan dibahas. Penelitian-penelitian yang lebih maju telah menemukan bahwa pelajaran musik membantu siswa membaca, mempelajari bahasa termasuk bahasa asing, matematika dan prestasi akademik secara keseluruhan. Musik meningkatkan kreativitas dalam kelas, mengembangkan keterampilan sosial, kepercayaan diri serta perkembangkan motorik persepsi dan perkembangan psikomotor. Menurut Gardner, para wakil rakyat, pemerhati pendidikan dan Dewan Sekolah yang mengeluarkan musik dari kurikukum sekolah telah berperilaku sombong karena tidak menyadari bagaimana otak dan pikiran manusia itu seharusnya berkembang. Selain itu musik membuat anak-anak sekolah berhadapan dengan keragaman budaya dan seni manusia yang kaya raya.

1 Response to "What is Music? II"

  1. goestie_hanoe Says:

    Romo. Sixtus, sy coppy tulisan2 Romo mengenai music...mksi ya Romo..sy murid Romo waktu masi d seminari...

Posting Komentar